Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset,
dan Teknologi Nomor 246/E/O/2023 Tanggal 8 Maret 2023

Pasca Putusan MK, Relevansi Peradilan Khusus Pilkada Dipertanyakan!

DEMOKRASI merupakan sistem tatanan politik ketatanegaraan yang diterapkan oleh bangsa Indonesia menjadi konsekwensi yang harus dijalankan. Bangsa Indonesia mengenal dua macam sistem demokrasi yang dianut oleh ketatanegaraan kita saat ini, sistem demokrasi langsung dan sistem demokrasi tidak langsung. Di Indonesia sistem yang digunakan adalah demokrasi tidak langsung yang dalam menentukan pengambilan keputusan negara rakyat mempunyai wakil-wakil yang duduk dilembaga perwakilan rakyat (DPR). Untuk menentukan wakil-wakil rakyat dan pergantian kepemimpinan pusat maupun daerah    diadakan pemilu dan pemilihan setiap 5 (lima) tahun sekali yang merupakan amanah UUD 1945.

Pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang dijalankankan oleh penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP) adalah perwujudan sistem pergantian wakil rakyat dan pemimpin yang sudah menjadi konsesnsus bersama dalam tatanan kehidupan bernegara kita. Dalam pelaksanaannya mesti banyak hal yang menjadi kendala baik itu yang berupa teknis maupun non teknis. Maka kepastian hukum menjadi jaminan agar pelaksanaaan dilapangan bisa maksimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu dari sisi penyelenggara sudah berkali-kali melaksanakan pemilu dan pemilihan akan menjadikan pengalaman yang sangat berarti untuk meminimalisir setiap permasalahan yang ada serta menyelesaikan sesuai dengan norma yang berlaku.

Dalam penyelenggaraan kata sukses merupakan kumpulan beberapa indikator yang ada didalamnya untuk menunjang kesuksesan tersebut. Salah satu indikatornya adalah penyelenggara berintegritas dan aturannya (UU) bisa diimplementasikan dilapangan. Disamping itu peserta pemilu merasa diperlakukan adil dalam mengikuti kontestasi yang sedang berlangsung. Untuk mencapai keadilan ada beberapa indikator yang harus dilaluinya yaitu apabila peserta pemilu ingin mencari keadilan terkait permasalahan yang dialami bisa disalurkan lewat lembaga peradilan yang terpercaya. Lembaga peradilan yang dimaksud adalah Peradilan khusus yang menangani masalah sengketa Pilkada. Saat ini memang belum terbentuk tetapi kalau ada perselisihan sengketa proses ditangani oleh Bawaslu dan perselisihan hasil ditangani MK.

Bawaslu dalam menjalankan tugas kepengawasan disetiap tahapan Pilkada yang di dalamnya juga termasuk menegakkan keadilan pemilu (electoral justice)  sangat sulit diwujudkan yang hanya berdasar pada regulasi saja karena amanat UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ada  yang belum bisa diwujudkan untuk mencapai Pilkada yang lebih baik. Diantaranya yang belum diwujudkan adalah amanah pembentukan peradilan khusus yang menjadi benteng terakhir dari stake holder pilkada dalam mencari keadilan. Namun dari Rencana pembentukan peradilan khusus pemilu dinilai sudah tidak relevan lagi dengan  ketentuan dalam pasal 157 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Karena menurut peradilan khusus yag diatur dalam  UU Pilkada sejatinya berangkat dari putusan MK Nomor 97 Tahun 2013.

Dalam pertimbangannya MK menyebut pilkada tidak masuk dalam rezim pemilu, sehinggga penanganan perselisihan hasil bukan menjadi kewenangan dari MK. Karena itu dalam putusannya MK menyarankan dibentuk peradilan khusus yang menangai perselisihan hasil sesuai rezim Pilkada, kemudian diakomodasi dalam pasal 157 UU No 10 Tahun 2016. Peradilan khusus ada karena perbedaan rezim antara pemilu dan pilkada yang dibreakdown kebawah dengan adanya UU Pemilu dan UU Pilkada.

Namun dalam putusan MK nomor 55 tahun 2019 MK menganulir pendapatnya sendiri terkait posisi pilkada. Dalam pututsan terbaru, MK menegaskan bahwa pilkada dan pemilu berada di rezim yang sama. Dengan demikian secara filosofis peradilan khusus pilkada sudah tidak lagi relevan dengan terbitnya putusan MK tersebut. Penyelesaian sengketa hasil pilkada dapat terus dilakukan MK. Kalaupun ada kekurangan di MK bisa diperbaiki untuk yang akan datang. Original intens MK dibentuk untuk menyelesaikan perkara yang bermotif politik maka tidak ada kesalahan bila MK menyelesaikan perselisihan hasil dari pemilu dan pilkada.

Perlu diusulkan revisi pasal 157 UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebab jika tidak akan terjadi permasalahan permasalahan dikemudian hari yang menimbulkan celah hukum. Disatu sisi UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebut secepatnya agar dibentuk peradilan khusus. Disisi yang lain situasinya sdh tdk relevan lagi karena MK diberi kewenangan dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pilkada. Revisi bisa diambil dengan cara menegaskan bahwa perselisihan hasil pilkada adalah kewenangan dari Mahkamah Konstitusi. Atau ada jalan lain yang bisa ditempuh yaitu Presiden mengeluarkan Perpu.

Sengketa Pilkada

  1. 2004 ditangani MA sesuai Norma UU Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Pemda
  2. 2008 ditangani MA paska disahkannya UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemda, MA keberatan karena sudah menangani banyak perkara.
  3. 2013 MK melalui Putusan Nomor 97/PUU-XI/2013 melepas kewenangannya dan memerintahkan dibentuk peradilan khusus pemilu, MK berpendapat bahwa Pilkada bukan rezim dari pemilu sehingga bukan kewenangannya.
  4. 2016 UU Pilkada disahkan kewenangan sengketa diberikan kepada MK sampai peradilan khusus dibentuk sebelum 2024 atau Pemilu serentak 2024.
  5. 2019 Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019, membuka kans penanganan sengketa pilkada tetap diMK tidak ada lagi pemisahan rezim pemilu dan pilkada.

Maka dari itu terkait penegakkan keadilan Pilkada yang merupakan amanat pasal 157 UU No 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada untuk membentuk peradilan Khusus Pilkada ada ditangan DPR dan pemerintah. Pemilu dan Pilkada sudah disepakati dilaksanakan secara serentak ditahun 2024 yang sudah ditentukan tanggal 14 Februari 2024. Sedangkan Pilkada sampai saat ini mengenai waktu, hari pelanksanaan, tahapan belum disepakati pelaksanaannya. Oleh karena itu menjadi PR Bersama dalam menyiapakan penyelenggaraan pemilu dan Pilkada 2024 yang sangat kompleksitasnya, sementara aturan perundang-undangan juga belum dilaksanakan.  

Penulis : Ahmadi,  Dosen Fakultas Hukum Universitas Safin Pati